Kamu pernah ada. Terutama ketika aku sedang membutuhkan teman untuk
berbicara, dan kamu tiba-tiba saja di sana. Mengajakku tertawa dengan
kekonyolan-kekonyolanmu sampai aku lupa bahwa sebenarnya kita tidak
pernah benar-benar bersama. Aku di sini, kamu di sana.
Kamu pernah ada. Dalam doa-doaku, agar suatu hari Tuhan tidak hanya
menumbuhkan perasaan menjengkelkan berupa kenyamanan yang saat ini aku
rasakan. Aku meminta lebih, layaknya manusia umumnya. Aku minta diberi
kesempatan agar kelak kita diberi kesempatan untuk saling jatuh cinta,
lalu bahagia lebih lama dari selamanya. Terkesan seperti roman, tapi aku
bilang itu harapan.
Kamu pernah ada. Dalam kata-kata yang aku rangkai
dengan tersenyum-tersenyum sendiri, atau dengan merasakan sesak di dada.
Tergantung apakah rangkaian kata itu sedang menggambarkan detail
tentang kamu atau sedang menggambarkan harapanku yang tetap hanya selalu
menjadi 'harapanku'.
Kamu, terima kasih sudah pernah ada. Terima kasih sudah memberi banyak
tawa. Terima kasih sudah menaruh puluhan giga byte memori ke hard disk
kepalaku. Aku tidak pernah harus berpura-pura menjadi orang lain ketika
bersamamu.
Kalau ada yang bertanya apa hal terbaik yang pernah terjadi kepadaku, aku akan menjawab momen-momen percakapanku denganmu.
Dan kalau ada yang bertanya apa aku bahagia melewati semuanya? Aku akan menjawab, "Ya. Aku bahagia..."
Tapi kalau semua kata pernah di semua paragraf di atas dihapus, aku pasti lebih berbahagia.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar