Kamu, ketika kamu membaca ini, kamu akan mengerti kenapa aku
menuliskannya untukmu.
Aku tahu sakitnya seperti apa. Aku pernah di sana dan aku pernah merasakannya. Tapi, tidak apa, masih ada banyak doa yang bersamamu. Dan nanti, kamu akan mengerti kalau sakitnya hanya sementara. Tapi nanti, bukan sekarang. Bertahan dulu, karena sakitnya pasti berlalu.
Aku tahu sakitnya seperti apa. Aku pernah di sana dan aku pernah merasakannya. Tapi, tidak apa, masih ada banyak doa yang bersamamu. Dan nanti, kamu akan mengerti kalau sakitnya hanya sementara. Tapi nanti, bukan sekarang. Bertahan dulu, karena sakitnya pasti berlalu.
Pada saat kamu membaca surat ini, bisa jadi sakitmu sudah pergi, bisa jadi juga
belum. Tapi, aku harap sakitmu sudah pergi. Aku harap kamu sudah menemukan rahasia melepaskan dan kembali berjalan.
Kalaupun belum, tidak apa. Suatu hari, kamu pasti akan berjalan lagi. Mungkin dibantu
oleh seseorang yang mengajakmu berdiri dan berjalan lagi sampai ke
sebuah titik nyaman yang membuatmu sembuh dari rasa sakitmu itu. Yang bersusah payah meyakinkanmu
bahwa tidak banyak kebahagiaan di masa lalu. Yang mungkin dia
menggandengmu atau
memapahmu kalau perlu, asal kamu terus berjalan. Pelan. Selangkah demi selangkah.
Kamu mungkin akan terperosok jatuh, tapi dia akan membantumu berdiri. Kamu mungkin juga akan tertarik kembali ke masa lalu, tapi dia akan tersenyum dan menarikmu menjauh lagi. “Kita berjalan dulu”, katanya, “Kalau kamu tidak suka, kamu boleh kembali meratapi masa lalumu.” Ketika dia mengatakan itu, dia tahu kamu tidak akan memilih itu. Dia percaya kamu, jauh lebih dari kamu mempercayai dirimu sendiri.
Pada saat itulah kamu terhenyak dengan kata ‘meratapi’. Iya. Kamu ternyata selama ini memang terlalu meratapi. Membuang waktumu hanya untuk terus menghayati setiap rasa sakitnya, kehilangannya, kesedihannya. Kamu lupa, seberapa pun indahnya pemandangan di luar, tidak akan terlihat jelas kalau jendelanya berembun. Harus dibersihkan dulu jendelanya, dan lihat keluar. Harus dibersihkan dulu ratapanmu, baru bisa melihat bahwa ada kebahagiaan yang banyak di depan. Syukurlah kamu menyadari sebelum semuanya terlambat.
Tetapi, kalaupun kamu sudah sampai ke titik nyaman, kadang, lukanya tidak hilang, seringkali justru meninggalkan bekas. Tidak apa, yang penting, sakitnya tidak terasa lagi, bukan? Bisa jadi ketika kamu mengingat bekasnya, malah akan membuatmu bercerita bangga, “Ini, luka karena…” dan berakhir dengan, “Pada akhirnya, aku bisa melepaskannya.” Lalu kamu tersenyum mengenang betapa jatuhnya kamu ketika itu, tapi ternyata kamu kuat menghadapinya. Kamu bahkan tidak mengira kamu bisa sekuat itu sebelumnya.
Sejak itu, sampai membaca tulisan ini (dan semoga juga sampai nanti), kamu selalu tahu bahwa apa pun yang terjadi, kamu sebenarnya kuat, kamu hanya jangan fokus pada kejatuhannya, tapi lebih kepada apa yang kamu miliki. Bertahan dan terus berjalan.
Kamu mungkin akan terperosok jatuh, tapi dia akan membantumu berdiri. Kamu mungkin juga akan tertarik kembali ke masa lalu, tapi dia akan tersenyum dan menarikmu menjauh lagi. “Kita berjalan dulu”, katanya, “Kalau kamu tidak suka, kamu boleh kembali meratapi masa lalumu.” Ketika dia mengatakan itu, dia tahu kamu tidak akan memilih itu. Dia percaya kamu, jauh lebih dari kamu mempercayai dirimu sendiri.
Pada saat itulah kamu terhenyak dengan kata ‘meratapi’. Iya. Kamu ternyata selama ini memang terlalu meratapi. Membuang waktumu hanya untuk terus menghayati setiap rasa sakitnya, kehilangannya, kesedihannya. Kamu lupa, seberapa pun indahnya pemandangan di luar, tidak akan terlihat jelas kalau jendelanya berembun. Harus dibersihkan dulu jendelanya, dan lihat keluar. Harus dibersihkan dulu ratapanmu, baru bisa melihat bahwa ada kebahagiaan yang banyak di depan. Syukurlah kamu menyadari sebelum semuanya terlambat.
Tetapi, kalaupun kamu sudah sampai ke titik nyaman, kadang, lukanya tidak hilang, seringkali justru meninggalkan bekas. Tidak apa, yang penting, sakitnya tidak terasa lagi, bukan? Bisa jadi ketika kamu mengingat bekasnya, malah akan membuatmu bercerita bangga, “Ini, luka karena…” dan berakhir dengan, “Pada akhirnya, aku bisa melepaskannya.” Lalu kamu tersenyum mengenang betapa jatuhnya kamu ketika itu, tapi ternyata kamu kuat menghadapinya. Kamu bahkan tidak mengira kamu bisa sekuat itu sebelumnya.
Sejak itu, sampai membaca tulisan ini (dan semoga juga sampai nanti), kamu selalu tahu bahwa apa pun yang terjadi, kamu sebenarnya kuat, kamu hanya jangan fokus pada kejatuhannya, tapi lebih kepada apa yang kamu miliki. Bertahan dan terus berjalan.
Kemudian, pasti nanti, kamu akan bisa
bermimpi lagi, dan hei, mungkin juga jatuh cinta lagi. Menikmati kembali
rasa hangat yang serupa seperti sebelum kamu kehilangan.
Punya gairah yang meluap-luap dan membuatmu susah terlelap. Kali ini,
kamu harus mengejarnya, sekuat kamu bisa.
Pantaskan dirimu untuk mimpi dan cinta yang ini, agar kamu tidak gagal
atau kehilangan lagi.
Oya, jangan lagi sekadar menjadi diri sendiri, itu tidak akan lagi cukup. Jadilah yang terbaik dari sendiri. Itu baru cukup. Sekadar menjadi diri sendiri akan membuatmu terus mencari alasan bahwa kamu sudah berusaha maksimal dan bahwa inilah apa adanya kamu. Tidak, tidak. Kamu bisa melakukan lebih baik dari itu dan kamu tahu benar itu. Jadi berhenti beralasan menjadi diri sendiri dan mulai menjadi yang terbaik yang bisa kamu lakukan untuk dirimu.
Oya, jangan lagi sekadar menjadi diri sendiri, itu tidak akan lagi cukup. Jadilah yang terbaik dari sendiri. Itu baru cukup. Sekadar menjadi diri sendiri akan membuatmu terus mencari alasan bahwa kamu sudah berusaha maksimal dan bahwa inilah apa adanya kamu. Tidak, tidak. Kamu bisa melakukan lebih baik dari itu dan kamu tahu benar itu. Jadi berhenti beralasan menjadi diri sendiri dan mulai menjadi yang terbaik yang bisa kamu lakukan untuk dirimu.
Kalaupun nanti kamu lelah, itu wajar,
tidak apa. Istirahatlah
sebentar. Tapi setelah itu, bangun dan berjalanlah lebih cepat lagi,
kalau
perlu berlari. Sekencang-kencangmu. Demi Tuhan, kejarlah apa yang kamu
inginkan dengan apa pun yang kamu bisa. Jangan lagi kamu kehilangan
kesempatan. Lakukan saja itu dan jangan dulu mengeluh. Ah, bahkan jangan
pernah mengeluh. Mengeluh selalu membuat apa pun yang kamu lakukan
malah bertambah berat.
Dan setelah berjuang sekeras itu, kalaupun kemudian kamu tidak mendapat mimpi dan cintamu yang ini, tidak apa. Setidaknya
kamu menjadi seseorang yang jauh lebih baik dari kamu yang sebelumnya. Kualitasmu sudah meningkat. Dan percayalah, kamu akan
mendapatkan apa yang pantas untukmu. Jadi, semakin baik dirimu, kamu pun akan
mendapatkan yang sebaik kamu. Mungkin lebih. Jadi, lelahmu tidak pernah rugi sama sekali.
Mungkin kamu juga akan jatuh, karena
untuk mencapai mimpi dan cintamu, tidak pernah semudah mengedipkan
matamu. Akan ada hal-hal keras yang menghantammu. Tidak apa. Apa pun
yang terjadi, kamu hanya harus
bangun dan berjalan lagi. Karena kalau kamu belum mati, berarti kamu
masih baik-baik saja. Kamu
masih bisa berjalan, berpikir, melihat, mendengar, dan banyak hal
lainnya.
Lihat kan? Kamu baik-baik saja. Kamu hanya jatuh. Melukaimu, tapi tidak
membunuhmu. Gunakan semua kekuatanmu untuk bangun dan berjalan lagi.
Karena yang harus kamu lakukan untuk berbahagia hanya berjalan lagi.
Selama kamu terus berjalan, pasti akan
ada suatu titik yang hatimu mengatakan, "Ini. Di sini penuh
kebahagiaan." Maka, kamu memutuskan untuk berhenti berjalan dan tinggal.
Pun ketika itu terjadi, kamu menemukan kebahagiaan, bagikan. Jangan
kamu
simpan sendiri.
Jangan khawatir, kebahagiaan tidak pernah habis. Ketika membahagiakan, justru kamu menerima lebih banyak kebahagiaan. Sama seperti seorang tua yang membelikan anaknya sepeda atau mainan. Anaknya berbahagia, tapi orang tuanya jauh lebih berbahagia ketika anaknya berbahagia. Lalu hangatnya menyebar dari mata, ke hati, lalu ke mana-mana.Kebahagiaan itu tidak pernah berkurang ketika dibagikan.
Jangan khawatir, kebahagiaan tidak pernah habis. Ketika membahagiakan, justru kamu menerima lebih banyak kebahagiaan. Sama seperti seorang tua yang membelikan anaknya sepeda atau mainan. Anaknya berbahagia, tapi orang tuanya jauh lebih berbahagia ketika anaknya berbahagia. Lalu hangatnya menyebar dari mata, ke hati, lalu ke mana-mana.Kebahagiaan itu tidak pernah berkurang ketika dibagikan.
Terakhir, sebelum kamu selesai membaca
tulisan ini, kamu harus mengingat satu hal, "Selesaikan apa pun yang
kamu mulai". Seperti pertandingan
sepakbola. Tidak peduli berapa banyak gol disarangkan ke gawangmu, kamu
harus
bermain sampai pertandingan selesai. Kita tidak bisa berhenti di
tengahnya
hanya karena kita sudah kemasukan banyak gol dan tidak mungkin menang.
Pertandingan adalah pertandingan, selesaikan. Hidup adalah hidup,
selesaikan. Kalaupun kamu dihantam dari segala sisi kehidupan, jangan
berhenti. Selesaikan 'pertandingan'mu. Jadilah orang yang berjiwa besar.
Terima kekalahan jika memang kamu kalah, dan berbagilah kebahagiaan
jika kamu menang.
Ini bukan ramalan, ini hanya tulisan.
Kamu akan membacanya di masa depan. Entah beberapa bulan lagi, setahun,
atau jauh setelah ini. Yang penting, ketika kamu membaca surat ini, kamu
ingat, bahwa kamu juga yang menulis surat ini. Dan kamu tahu bahwa
segala sesuatu pasti akan terjadi, seperti yang kamu tuliskan sekarang
ini, jatuhnya, sakitnya, perjuangannya, semuanya. Jika kamu merasa
lemah, baca tulisan ini lagi, lalu bangun dan berjalan lagi. Terus saja
sampai 'pertandingan'mu berhenti. Apa pun, jangan sampai kamu yang
memutuskan untuk berhenti. Biar Tuhan yang memutuskan kapan kamu boleh
berhenti.
Tulisan ini, aku dan kamu akhiri di sini. Dariku dan untukku sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar